ILKHAM MAULIDAN SYAH, (2024) KEWAJIBAN SUAMI MEMBERIKAN NAFKAH TERHADAP ISTRI YANG NUSYUZ MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IBNU HAZM. Bachelor thesis, S1-Hukum Keluarga Islam Syariah.
Text
2008201116_1_cover.pdf Download (1MB) |
|
Text
2008201116_2_bab1.pdf Download (392kB) |
|
Text
2008201116_6_bab5.pdf Download (250kB) |
|
Text
2008201116_7_dafpus.pdf Download (334kB) |
Abstract
Pernikahan merupakan ikatan suci yang terjalin antara seorang pria dan wanita dalam rangka membangun dan membina kehidupan yang lebih baik dan harmonis. Oleh karena itu pernikahan dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dengan cara memahami satu sama lain, saling memberikan kasih sayang antar pasangan dan menjalankan tugas dan perannya masing-masing sesuai dengan prinsip dan syariat Islam. Salah satu tugas suami yaitu wajib memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri. Kewajiban memberikan nafkah lahir terhadap istri terjadi apabila suami telah melakukan akad pernikahan yang sah, penyerahan diri istri kepada suaminya, serta memungkinkannya untuk bersenang-senang antara suami istri. Akan tetapi dalam kehidupan berumah tangga selalu ada saja konflik dalam rumah tangga tersebut yag pada akhirnya kerap kali mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh dengan istilah nusyuz. Kemudian penelitian ini bertujuan untuk menjawab dari pertanyaanpertanyaan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: bagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm mengenai kewajiban suami memberikan nafkah terhadap istri yang nusyuz? dan bagaimana persamaan dan perbedaan mengenai kewajiban suami memberikan nafkah terhadap istri yang nusyuz menurut Imam syafi’i dan Ibnu Hazm?. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang membatasi kegiatannya pada bahan-bahan koleksi kepustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu menurut Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm mengatakan jika istri yang menolak untuk digauli, maka dia tidak berhak atas nafkah karena dia menghalangi suami untuk menggaulinya. Demikian pula, jika dia melarikan diri, atau menghalangi suami untuk menggauli sesudah sebelumnya suami pernah menggaulinya, maka dia tidak berhak atas nafkah selama dia menolak untuk digauli suami. Sedangkan Ibnu Hazm dalam kitabnya yaitu al-Muhalla menyatakan bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya sejak terjalinnya akad nikah meskipun istri melakukan perbuatan nusyuz. Beliau berpendapat bahwa adanya kewajiban nafkah hanya semata-mata karena adanya pernikahan bukan karena istimta. Menurut beliau perbuatan nusyuznya istri tidak menjadikan penahan mendapatkan hak atas nafkah istri yang diberikan oleh suaminya. Kata Kunci: Nafkah, Nusyuz, Imam Syafi’i, dan Ibnu Hazm
Item Type: | Thesis (Bachelor) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam > Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al-Syahsyiyyah) |
Depositing User: | rosyidah rosyidah rosyidah |
Date Deposited: | 18 Jul 2024 03:04 |
Last Modified: | 18 Jul 2024 03:04 |
URI: | http://repository.syekhnurjati.ac.id/id/eprint/13582 |
Actions (login required)
View Item |